Berita Interpretasi
Nampaknya kabar berita mengenai kekerasan
di kalangan anak sekolah tidak kunjung mereda, justru makin kian menjadi-jadi. Kekerasan
tersebut bukannya hanya perupa kekerasann fisik, bahkan sampai kekerasan
psikologi dan seksual. Yang lebih memprihatinkan lagi, kekerasan tersebut kerap
kali terjadi di lingkungan sekolah. Dimana lingkungan sekolah yang seharusnya
menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak, justru tidak sedikit anak yang
malah merasa resah berada di sekolah. Kalau sudah begitu, boro-boro anak akan
memiliki semangat belajar?
Hal tersebut tentunya tidak hanya berakibat pada keadaan
fisik anak. Tapi juga keadaan psikologis anak yang mana efek tersebut jauh
lebih menakutkan. Karena pada usia tersebut psikologis anak sangat mudah
terguncang. Dan kekerasan psikologis yang saat ini sedang populer di kalangan
pelajar yaitu tindak Bullying.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) mencatat pada tahun 2013 terdapat 3.339 kasus pelanggaran anak, dimana 16%
dilakukan oleh anak-anak sebaya. Dan presentase tersebut meningkat di tahun
2014 ini. Pada periode Januari-Juli saja sudah tercatat ada 1.626 kasus
kekerasan anak, 26% kekerasan dilakukan oleh anak-anak sebaya. Kalau sudah
begini siapa yang harusnya di salahkan? Guru dan pihak sekolah? Orang tua dan
keluarga bahkan lingkungan sekitar? Atau justru pemerintah?
Jika di lansir lebih jauh, sebagian
dari pihak guru dan sekolah sekarang ini hanya berperan sebagai pengajar bukan
pendidik. Mereka lebih menekankan pendidikan berbasis ilmu pengetahuan, di
bandingkan ilmu moral dan akhlak. Kurikulum
yang berlaku pun lebih membebankan dan menekankan murid pada tugas-tugas
struktural.
Buktinya kini kekerasan menyebar bukan hanya di kalangan
sekolah tingkat dasar. Seperti kasus anak sekolah dasar Bukut Tinggi yang kasus
nya sedang disorot publik dan berbagai lembaga pendidikan dan kekerasan anak. Tapi
sampai tingat perguruan tinggipun tidak luput dari tindak kekerasan.
Para wali murid (orang tua dan
keluarga) sangat membebankan pendidikan enuh anaknya terhadap lembaga-lembaga. Mereka
beranggapan bahwa seharusnya anak memiliki berbagai macam pelajaran dan
pendidikan dari lembaga-lembaga tersebut. Padahal keluarga dan lingkunag
sekitar lah yang menjadi guru pertama bagi anak-anak mereka. Orang tua atau
pendidik kerap kali beranggapan bahwa dengan menjewer, mencubit atau tindakan
kekerasan yang lain nya dapat menegakan kedisiplinan. Padahal justru tindakan
itulah yang nantinya akan di contoh oleh anak.
Dalam hal ini, pemerintah pun di
nilai sangat lemah pengawasannya. Kita ambil saja contoh dari pengawasan
penyiaran film dan acara-acar TV lainnya. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih
saja memberika izin pada film-film yang sama sekali tidak mendidik. Film tersebut
sudah dilebeli “lulus sensor” padahal isi dari tayangan tersebut sama sekali
tidak layak di tonton dan pada akhirnya di tiru oleh anak. Karena anak sangat
cepat meniru apapun yang mereka lihat dan dengar. Seharusnya pemerintah
memegang peran penting, karena ini menyangkut bibit-bibit penerus bangsa.
“Kemdikbud harus punya sistem penyelenggaran pendidikan yang
memiliki perspektif perlindungan anak” kata ketua KPAI, Arsorun sholeh. Yang mana
sistem tersebut mengandung kepastian bahwa tidak adanya bibit kekerasan di
sekolah, tambahnya.
Jadi semua pihak patut disalahkan dan patut introspeksi
terkait masalah kekerasan anak yang kian menghawatirkan nasib para generasi
muda bangsa tersebut.
sources:
www.metrosiantar.com
www.harianterbit.com
www.wikipedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar