Powered By Blogger

Sabtu, 18 Oktober 2014

Kekerasan di kalangan anak Indonesia harus mendapat perhatian khusu dari berbagai pihak

Berita Interpretasi

Nampaknya kabar berita mengenai kekerasan di kalangan anak sekolah tidak kunjung mereda, justru makin kian menjadi-jadi. Kekerasan tersebut bukannya hanya perupa kekerasann fisik, bahkan sampai kekerasan psikologi dan seksual. Yang lebih memprihatinkan lagi, kekerasan tersebut kerap kali terjadi di lingkungan sekolah. Dimana lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak, justru tidak sedikit anak yang malah merasa resah berada di sekolah. Kalau sudah begitu, boro-boro anak akan memiliki semangat belajar?
Hal tersebut tentunya tidak hanya berakibat pada keadaan fisik anak. Tapi juga keadaan psikologis anak yang mana efek tersebut jauh lebih menakutkan. Karena pada usia tersebut psikologis anak sangat mudah terguncang. Dan kekerasan psikologis yang saat ini sedang populer di kalangan pelajar yaitu tindak Bullying.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pada tahun 2013 terdapat 3.339 kasus pelanggaran anak, dimana 16% dilakukan oleh anak-anak sebaya. Dan presentase tersebut meningkat di tahun 2014 ini. Pada periode Januari-Juli saja sudah tercatat ada 1.626 kasus kekerasan anak, 26% kekerasan dilakukan oleh anak-anak sebaya. Kalau sudah begini siapa yang harusnya di salahkan? Guru dan pihak sekolah? Orang tua dan keluarga bahkan lingkungan sekitar? Atau justru pemerintah?
Jika di lansir lebih jauh, sebagian dari pihak guru dan sekolah sekarang ini hanya berperan sebagai pengajar bukan pendidik. Mereka lebih menekankan pendidikan berbasis ilmu pengetahuan, di bandingkan ilmu moral dan akhlak.  Kurikulum yang berlaku pun lebih membebankan dan menekankan murid pada tugas-tugas struktural.
Buktinya kini kekerasan menyebar bukan hanya di kalangan sekolah tingkat dasar. Seperti kasus anak sekolah dasar Bukut Tinggi yang kasus nya sedang disorot publik dan berbagai lembaga pendidikan dan kekerasan anak. Tapi sampai tingat perguruan tinggipun tidak luput dari tindak kekerasan.
Para wali murid (orang tua dan keluarga) sangat membebankan pendidikan enuh anaknya terhadap lembaga-lembaga. Mereka beranggapan bahwa seharusnya anak memiliki berbagai macam pelajaran dan pendidikan dari lembaga-lembaga tersebut. Padahal keluarga dan lingkunag sekitar lah yang menjadi guru pertama bagi anak-anak mereka. Orang tua atau pendidik kerap kali beranggapan bahwa dengan menjewer, mencubit atau tindakan kekerasan yang lain nya dapat menegakan kedisiplinan. Padahal justru tindakan itulah yang nantinya akan di contoh oleh anak.
Dalam hal ini, pemerintah pun di nilai sangat lemah pengawasannya. Kita ambil saja contoh dari pengawasan penyiaran film dan acara-acar TV lainnya. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih saja memberika izin pada film-film yang sama sekali tidak mendidik. Film tersebut sudah dilebeli “lulus sensor” padahal isi dari tayangan tersebut sama sekali tidak layak di tonton dan pada akhirnya di tiru oleh anak. Karena anak sangat cepat meniru apapun yang mereka lihat dan dengar. Seharusnya pemerintah memegang peran penting, karena ini menyangkut bibit-bibit penerus bangsa.
“Kemdikbud harus punya sistem penyelenggaran pendidikan yang memiliki perspektif perlindungan anak” kata ketua KPAI, Arsorun sholeh. Yang mana sistem tersebut mengandung kepastian bahwa tidak adanya bibit kekerasan di sekolah, tambahnya.

Jadi semua pihak patut disalahkan dan patut introspeksi terkait masalah kekerasan anak yang kian menghawatirkan nasib para generasi muda bangsa tersebut.


sources:
www.metrosiantar.com
www.harianterbit.com
www.wikipedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar